Sabtu, 07 Februari 2009

DIGI HARI: SATPOL PP

“Heh!! Mau diapain itu dagangan saya!! Heh!! Jangan!! Jangaaaann!!” Seorang Ibu berteriak-teriak sambil mempertahankan barang dagangannya dari seorang laki-laki berseragam.

“Tapi Ibu ini kan berdagang di area yang memang dilarang untuk berdagang!!” Jawab laki-laki berseragam itu dengan keras. Tangannya masih berusaha merebut barang dagangan dari tangan Ibu itu.

“Jangann!! Jangaaaannn!!” Teriakan Ibu itu semakin kencang dan keras. Tangannya akhirnya lemas dan terlepas dari barang dagangannya. Ia lalu jatuh terjerembab ke tanah yang keras. Ibu-ibu lainnya yang sedari tadi berada di belakang membantunya berdiri.

“Ingat, Kami sudah memberikan peringatan kepada Ibu sebelumnya. Di area ini memang tidak diperuntukkan untuk berjualan. Dan sesuai peraturan, Ibu harus pindah. Tapi karena Ibu tidak pindah juga walaupun sudah diberikan peringatan, jadi Kami terpaksa bertindak.” Kali ini laki-laki berseragam itu berkata dengan tenang. Di belakangnya banyak laki-laki yang berseragam sama sibuk mengangkut gerobak-gerobak dagangan ke dalam sebuah truk.

Siang semakin panas. Penggusuran itu dilakukan tepat ketika matahari berada di atas kepala. Hampir tidak ada awan sedikitpun yang bisa memberikan keteduhan. Ibu itu terduduk lemas kembali di tanah. Tangisannya sekarang terdengar pelan, ia terisak-isak. Orang-orang di belakangnya hanya bisa menepuk bahunya dengan lembut, sekedar memberikan tanda keprihatinan.

Truk sekarang sudah penuh dengan segala macam perangkat dagangan. Dan laki-laki berseragam tadi berkata, “Bagi yang ingin mengambil kembali barang dagangannya, silahkan ke kantor kami, nanti kita urus bersama disana. Terima kasih.” Ia pun pergi dengan mobil bak, yang dibelakangnya duduk rapih beberapa laki-laki lainnya yang berseragam sama. Sebagian lainnya masih berada di tempat untuk berjaga-jaga.

Tidak lama kemudian, alat-alat berat mulai berdatangan, dan langsung mulai menghancurkan lapak-lapak, warung-warung, dan tempat berdagang. Semuanya pelan-pelan dibersihkan dan dirapihkan.

Ibu itu sekarang histeris lagi, teriakannya semakin memilukan hati, ketika ia melihat, tempatnya selama bertahun-tahun menghidupi keluarganya selama ini hancur dalam waktu beberapa menit saja.

Digi yang menyaksikan semua itu dari tv di kamarnya hanya terdiam. Setiap pikiran yang muncul di kepalanya, langsung dipatahkan dengan pikiran lainnya yang langsung muncul.

“Gila ya??! Maunya apa sih pemerintah itu?!! Rakyat kecil koq malah disiksa kayak gitu?? Kalo udah giliran pemilu aja, kayaknya langsung pada manis semua sama rakyat kecil!!” Salah satu komentar warga yang ada di lokasi yang diambil oleh reporter tv itu.

Siaran berita siang itu emang disiarin secara langsung. Dan ini katanya adalah penggusuran terbesar yang dilakuin sama pemerintah daerah. Di belakang warga yang lagi ngasih komentar itu, terlihat alat-alat berat masih sibuk menghancurkan dan membersihkan lapak-lapak.

Tiba-tiba terjadi keributan. Beberapa warga laki-laki kayaknya udah ngga bisa nahan emosi dan akhirnya terjadi dorong-dorongan. Barisan satpol pp dan polisi yang membarikade penggusuran itu awalnya masih tenang-tenang aja, tapi lama-kelamaan, akhirnya emosi mereka juga kebakar, dan akhirnya terjadi dorong-dorongan dan pemukulan. Kerusuhan kecil mulai terjadi disana.

Reporter berita yang lagi di tonton sama Digi itu, menghampiri salah seorang korban penggusuran, seorang Ibu yang udah paruh baya, dan menyodorkan mikrofon, “Ada yang mau disampaikan, Bu?”

Ibu paruh baya itu hanya terisak pelan. Reporter tv itu masih menyodorkan mikrofon ke dekat mulutnya. Tiba-tiba ibu itu meledak dengan kemarahannya, “Tiap hari aja saya dimintain iuran. Saya udah kasih semuanya ke mereka itu. Apapun yang mereka minta saya kasih!! Asal saya bisa tetep dagang disini. Tapi liat sekarang?! Mana mereka yang biasanya mintain iuran itu? Mana mereka yang katanya ngejamin keamanan buat dagang?? Mana??!!” ibu itu berteriak histeris.

Reporter tv itu masih terlihat tenang, dan melanjutkan pertanyaannya. “Ada komentar lain, Bu?”

“Dua puluh tahun, Mba! Dua puluh tahun!! Udah selama itu saya jualan disini. Selama ini ngga ada apa-apa. Selama ini bae-bae aja. Saya cuman orang kecil, Mba. Nyari duit juga buat makan sama sekolah anak saya. Tapi kalo udah gini, apa yang mau saya bilang sama anak saya nanti?? Apa, Mba?? Apa??!!”

“Terima kasih, Bu.” Reporter tv itu kemudian pergi dan gambar berganti ke kerusuhan kecil antara warga yang digusur dagangannya dengan para petugas. Dibelakangnya pemandangan alat-alat berat untuk menggusur masih bekerja menghancurkan warung-warung.

Apa yang bakal dibilang si Ibu itu ke anaknya nanti? Bilang kalau anaknya harus berhenti sekolah karena sekarang tempat Ibunya nyari uang udah ngga ada? Ngga ada yang tahu. Si Ibu itu aja ngga tahu, apalagi reporter tv tadi, yang mungkin habis meliput langsung pergi ke tempat yang penuh dengan AC dan makan enak disana. Karena apapun tadi, toh itu cuman bagian dari pekerjaannya aja.


Digi jadi inget waktu dulu dia masih semester-semester awal kuliah. Waktu dia masih jadi anak pers mahasiswa. Waktu itu lagi heboh-hebohnya soal penggusuran dimana-mana. Dan seringnya penggusuran yang dilakuin itu pasti ngga berjalan lancar, pasti aja kejadian yang namanya ribut-ribut. Bahkan sampai bentrok.

Digi jadi berpikir, apa rasanya petugas-petugas yang turun langsung ke lapangan, ngurusin warga yang notabene adalah orang-orang kecil juga? karena yang sering ditampilin di tv adalah kekerasan yang dilakuin petugas-petugas itu waktu ngelakuin penertiban. Kadang ada yang dengan senang hati ngehancurin lapak-lapak. Ada yang langsung ngebuang semua bahan dagangan gitu aja. Apalagi kalo ada razia PSK, kadang mereka sambil tertawa ngelakuinnya.

Apa bener yang ditampilin di tv itu sesuai sama kenyataannya? Karena Digi adalah tipe orang yang ngga percaya sampai dia ngebuktiinnya sendiri.

Akhirnya dia punya ide buat bikin satu artikel buat majalah kampusnya, soal petugas yang seringnya kebagian jatah buat ngurusin hal-hal penggusuran ini. satpol pp. Tapi dia mau lihat dari sisi lainnya. Dan dia harus ngobrol banyak sama orang ini.

Setelah tanya kesana kesini, akhirnya dia ketemu sama yang namanya Pak Sam. Dia dulu pernah jadi anggota satpol pp selama tiga tahun. Dan akhirnya mutusin buat keluar karena satu alasan yang sampe sekarang bikin Digi terkagum-kagum sama Pak Sam ini.

Pak Sam adalah orang yang sederhana. Rumahnya masih rumah kontrakan dengan dua kamar. Waktu itu Pak Sam baru berumur 30-an, dia punya satu istri dan satu anak yang masih belum genap satu tahun umurnya.

Digi ngobrol di rumahnya waktu itu. Sore-sore, habis ujan.

“Gimana perasaan Bapak waktu dapet tugas ngegusur-gusur gitu?” Digi mulai pertanyaan pertamanya.

Pak Sam hanya tersenyum, dan menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. “Gimana ya, Mas? Waktu itu namanya juga pekerjaan, dan ada perintah dari atasan, ya saya lakuin aja sesuai kapasitas saya.”
“Pernah ada perasaan kasihan ga, Pak?” Digi bertanya dengan hati-hati.

“Setiap saat, Mas. Setiap kali saya ngelakuin kerjaan itu. Setiap saya melihat Ibu-ibu yang nangis sambil teriak-teriak histeris karena lapaknya saya hancurin. Setiap kali ada Ibu-ibu pingsan karena sudah tidak tahan dengan emosinya.”

Pak Sam menyeruput teh hangatnya dengan pelan, dan menatap keluar. Hujan mulai turun lagi dengan pelan.

“Setiap kali saya nertibin mereka-mereka yang memang melanggar aturan itu, selalu terbayang dibelakang mereka adalah anak, suami, istri dan keluarga lainnya yang bergantung sama mereka.” Pak Sam terdiam pelan, dan, “Padahal saya sama dia juga ngga ada bedanya. Sama-sama orang kecil.”

Digi bertanya pelan, “Trus.. Apa yang Bapak lakuin?”

“Ngga ada, Mas. Saya hanya menjalankan tugas saja. Bagi saya waktu itu sudah jelas. Hukum sudah mengatur semuanya. Yang melanggar, ya harus dihukum. Siapapun dia. Dan itu memang jadi pedoman kami ini yang ngejalanin tugas dilapangan.”

Digi mau ngelanjutin pertanyaannya, tapi ngga jadi, karena Pak Sam langsung ngelanjutin jawabannya. “Dan terkadang, kami semua dibutakan dengan itu. Lupa kalau yang kami hadapi adalah manusia. Sama-sama manusia.”

“Kayak yang diliatin di tv-tv itu ya, Pak?”

“Yahh.. saya ngga memungkiri kalo yang Mas liat di tv itu juga emang beneran terjadi. Tapi bukannya tv itu cuman nampilin apa yang pengen diliat sama penontonnya?” Pak Sam tersenyum miris.

“Terus.. Apa yang bikin Bapak mutusin buat keluar dan berhenti akhirnya?

Pak Sam terdiam. Ia mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah. “Waktu itu hari Senin. Saya masih ingat betul hari itu. Seperti biasa, Kami dapat perintah untuk menertibkan pedagang-pedagang liar yang menyalahi aturan. Dan Kami pun memang sudah biasa melakukannya. Dan waktu itu adalah tahun ketiga saya.”

“Sampai ketika Kami tiba di lokasi, suasana sudah panas. Orang-orang sudah siap buat ngelakuin perlawanan. Dan Kami pun sudah siap untuk melakukan penertiban. Saya waktu itu memimpin teman-teman lainnya untuk melakukan penertiban dengan halus. Sebisa mungkin menghindari bentrok dengan para pedagang.”

“Awalnya semua berjalan lancar. Kerumunan warga yang mau ngasih perlawanan masih bisa di tahan sama teman-teman. Tapi namanya juga manusia ya, Mas, semuanya punya keterbatasan. Dan akhirnya pecah juga bentrok itu. Anak buah saya yang masih muda-muda udah pada emosi, dan akhirnya saya akuin, ngelakuin apa yang seharusnya ngga mereka lakuin.”

“Waktu itu saya lagi di tengah-tengah lokasi, agak jauh dari kerumunan orang-orang itu. Sampai akhirnya dikabarin salah seorang anak buah saya, ada bentrok, dan ternyata bentrok itu makan korban. Satu orang tewas. Saya kaget dan langsung menuju lokasi.”

Berhenti sejenak, Pak Sam menelan ludahnya pelan-pelan, dan ngelanjutin ceritanya.

“Ternyata yang meninggal adalah seorang Ibu, sudah berumur lebih dari lima puluh tahun. Ia ada di kerumunan paling depan. Dan waktu terjadi bentrok, dia kedorong-dorong, dan akhirnya terinjak-injak.”

“Yang bikin saya shock, ternyata Ibu itu adalah tetangga saya dulu di Kampung. Waktu saya ngeliat siapa orang yang meninggal itu, saya langsung kaget, dan tidak tahu harus berbuat apa. Yang masih saya ingat sampai sekarang, teriakan anak-anaknya yang bikin hati saya kayak keiris.”

Pak Sam berhenti bercerita dan matanya mulai basah.

“Sejak itu saya mutusin buat keluar dan mencari pekerjaan lain. Pekerjaan yang ngga perlu berurusan dengan orang kecil dan segala macamnya.”


Pak Sam. Berapa banyak orang yang tahu cerita kayak gini. Mungkin ngga ada yang peduli juga. orang-orang yang memberikan perintah dan pekerjaan dari tempat yang jauh dari panas matahari. Jauh dari kelaparan mencari makan. Yang dipeduliin cuman hukum dan undang-undang aja. Ngga peduli kalo yang mereka hadapin adalah manusia, yang dibelakangnya ada manusia-manusia lain yang saling bergantung.


Digi tersadar dari lamunannya ketika melihat sosok Ibu yang pertama kali dilihatnya di tv tadi, kini tertangkap kamera terlihat pasrah dan tidak tahu harus berbuat apa lagi. Di depannya sekarang berdiri tanah yang dulunya berdiri tempatnya berjualan. Hanya debu dan pasir yang tersisa di udara.

Mungkin beberapa waktu lagi ia bahkan sudah tidak tahu dimana dulu tempatnya mengais rejeki berada. Berganti dengan entah apa nantinya. Mungkin sebuah taman hijau, atau malahan sebuah bangunan yang tidak mungkin digusur. Sebuah Mall.

2 komentar:

  1. trus gimana kalo kayak gitu...

    BalasHapus
  2. ngga gimana2..
    akhirnya itu menjadi sebuah pilihan kan..?
    cerita ini cuman mencoba menggambarkan dari sisi lain aja..

    BalasHapus