Sabtu, 14 Februari 2009

DIGI HARI: DR. CICHA

“Dr. Cicha..”

Yang dipanggil mengangkat pelan kepalanya dari setumpuk bacaan yang ada di mejanya dan tersenyum, “Ya..?”

“Ada keluarga pasien yang mau bertemu..” Suster muda yang berdiri di depan pintu ruangan itu berkata.

“Keluarga pasien? Yang mana ya?” Cicha mengangkat alisnya, mencoba mengingat beberapa kasus yang ditanganinya beberapa hari lalu.

“Yang beberapa minggu lalu di operasi hernia itu lho, Dok. Yang anaknya masih baru beberapa bulan umurnya.” Suster itu menjelaskan dengan tersenyum. “Yang Dokter bilang anaknya punya mata yang bagus banget.” Dia menambahkan ketika melihat muka Cicha yang masih mencoba mengingat-ingat.

“Oh, iya! Keluarga Rahlan itu ya? Ya ya ya.. Saya ingat. Dimana mereka sekarang?” Cicha sekarang sudah ingat dan mulai berdiri dari kursinya. Meninggalkan berbagai tumpuk buku tentang kehidupan di pedalaman.

“Mereka ada di ruang tunggu, Dok.” Suster itu tersenyum, dan pergi meninggalkan ruangan Cicha.

Cicha, dokter muda, perempuan yang baru memasuki usia 30, dan sangat bersemangat. Rambutnya panjang bergelombang, badannya tinggi semampai, dan dia punya mata yang sangat tajam. Tapi dia punya senyuman khas, yang membuat orang lain tersenyum ketika melihatnya.

“Keluarga Rahlan.” Cicha berkata pelan pada dirinya sendiri sambil berjalan menyusuri koridor. Mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu. Waktu itu Ibu dari Rahlan kecil datang ke rumah sakit tempat Cicha bekerja sebagai Dokter Spesialis Bedah Anak dengan muka panik. Cicha kebetulan baru keluar dari ruangannya dan langsung bertemu dengan Ibu muda yang sedang bingung ini.

“Dokter! Tolong, Dok! Tolong anak saya! Dia ngga mau berhenti menangis. Udah beberapa jam, Dok! Dia seperti menahan sakit!” Ibu Rahlan, yang masih terhitung Ibu muda, waktu itu merepet dengan cepat. Panik dengan keadaan anak pertama mereka.

“Tenang, Bu. Tenang..” Cicha mencoba menenangkan Ibu muda itu dan membawa mereka ke ruang periksa. “Biar saya periksa dulu, ya?”

Cicha lalu memeriksa bayi yang baru berumur beberapa bulan itu. “Matanya bagus banget ya, Bu?”

Ibu muda itu hanya tersenyum lemas. Dia masih panik.

Cicha mulai memeriksa Rahlan kecil. Bayi laki-laki itu masih menangis dengan keras. “Mulai kapan anak Ibu seperti ini, Bu..?”

Ibu muda itu masih terdiam, melihat dengan cemas anaknya yang sedang menangis di ranjang periksa itu.

“Ibu..” Cicha berkata pelan. “Saya butuh bantuan Ibu, tolong jawab pertanyaan saya..” Cicha tersenyum kepada Ibu itu. “Anak Ibu mulai menangis seperti ini ketika dia sedang apa?”

“Ehhh.. Kalo buang air besar, Dok.” Ibu itu akhirnya bersuara, walaupun dengan lirih.

“Baik. Sepertinya anak Ibu ini terkena hernia.” Kata Cicha pelan. Ibu itu terkejut, wajahnya menunjukkan pertanyaan. “Tenang.. ini biasa terjadi. Apakah anak Ibu ini lahir prematur?”

Ibu itu mengangguk pelan.

“Baiklah. Ibu tenang saja, ya.. Anak Ibu tidak apa-apa, kok. Tapi harus ada beberapa pemeriksaan dulu, untuk menentukan langkah selanjutnya. Ibu bersedia menunggu terlebih dahulu kan?” Cicha menenangkan Ibu itu. “Dimana suami Ibu?”

“Sedang dalam perjalanan dari kantornya..”

Cicha lalu memanggil perawat untuk membantunya. Melakukan beberapa pemeriksaan awal. Ibu muda itu menunggu dengan sabar, masih lemas, di kursi di depan ruangan. Tidak lama kemudian suaminya datang, dan mereka saling berpegangan tangan. Pasangan muda..


Yup. Cicha masih ingat dengan keluarga Rahlan ini, dan dia tersenyum kecil ketika mengingat si Ibu muda yang panik itu. Dan selintas pikiran kecil lewat, bahkan sampai sekarangpun dia belum berpikiran untuk berkeluarga.

Pintu ruang tunggu terbuka, dan Cicha melihat keluarga kecil Rahlan ada di dalamnya. Cicha menyapa mereka dengan hangat, “Selamat pagi..”

“Selamat pagi, Dok..” Ibu Rahlan tersenyum dengan hangat. Sekarang dia terlihat lebih cantik. Disebelahnya, seorang laki-laki, lebih kecil dari istrinya, juga tersenyum, “Rahlan sekarang sudah bisa tertawa lagi, Dok. Terima kasih.”

“Sama-sama..” Cicha tersenyum, dan melihat ke arah bayi laki-laki yang digendong ibunya. “Halo, Rahlan.. Udah bisa ketawa ya sekarang?” Cicha mengambil Rahlan dari gendongan Ibunya, dan menggendongnya pelan. Rahlan tertawa senang. Dia seperti mengerti dengan suasana bahagia ini. Dari dulu Cicha memang ingin memiliki adik. Karena selama ini ia hidup sendiri di keluarganya. Dia anak tunggal.

Tiba-tiba suster yang tadi masuk pertama kali ke ruangan Cicha, datang dengan wajah yang sangat panik. “Dok. Ada keadaan darurat. Dokter diminta untuk segera ke ruangan gawat darurat!”

“Ada apa?” Cicha memberikan Rahlan kecil kepada Ibunya lagi, meminta ijin untuk pamit, dan pergi ke ruangan gawat darurat bersama suster itu.

“Anak umur sepuluh tahun, Dok. Laki-laki. Dia mengalami pendarahan di kepalanya.” Suster itu menjawab dengan cepat.

Mereka berdua menyusuri jalan menuju UGD.

“Jatuh dari sepeda?” Tanya Cicha. Mereka berbelok ke arah kanan. UGD ada di dua belokan setelah itu.

“Bukan, Dok. Anak itu sedang bermain di kamar bersama temannnya. Mereka meniru tontonan di televisi. Mereka meniru permainan gulat itu lho, Dok. Dan entah bagaimana anak ini jatuh dari kasur, dan kepalanya terbentur pinggiran ranjang, dan terantuk tembok kamarnya.”

Satu belokan lagi menuju UGD.

Cicha terdiam. “Orang tuanya?”

“Bekerja semua.”

Mereka telah sampai di UGD, suster itu menunjukkan ruangannya dan menunggu di belakang Cicha.

Cicha merasa kasihan dengan anak itu. Mukanya pucat, dia pingsan. “Sudah berapa lama dia pingsan?”

“Beberapa jam, Dok.” Suster itu memberitahu di belakangnya.

“Kita harus mengoperasi anak ini. segera.” Cicha mempersiapkan diri. “Orang tuanya sudah dihubungi?”

“Sudah, Dok. Tapi tidak ada jawaban dari keduanya.”


Beberapa jam kemudian Cicha keluar dari ruangan operasi. Mukanya sangat lelah. Dan dia menangis. Dia lalu pergi ke ruangannya, menenangkan diri.

Tidak berapa lama terdengar suara ketukan pelan di pintu yang menyadarkan Cicha. “Dok.. Orang tua anak itu sudah datang.”

Cicha mengangguk pelan. Dan ia beranjak dari kursinya. Pergi menemui keluarga anak itu. Tugas paling sulit bagi seorang dokter, bukan melakukan operasi dengan tingkat kesulitan yang tinggi atau semacamnya, melainkan memberikan kabar yang tidak menyenangkan kepada keluarga pasien.

“Bagaimana, Dok? Bagaimana anak saya?” Seorang Ibu gemuk, berusia sekitar 40-an tahun langsung menghampiri Cicha.

“Apakah dia baik-baik saja? Apakah kami bisa melihatnya?” Sekarang suaminya yang bertanya.

Cicha terdiam. Dan, “Maaf. Kami sudah berusaha semampu Kami. Tapi.. Anak Ibu sudah datang terlalu terlambat. Kami sudah mengusahakan apa yang Kami bisa. Tapi..”

Kalimat Cicha tidak terselesaikan, karena tangis meledak dari Ibu itu, “Anakkkuuuuuuu..”

Cicha bertanya dengan pelan, “Maaf. Tetapi kenapa sangat terlambat anak Bapak dibawa ke rumah sakit ini?”

“Terlambat? Anda bertanya kenapa terlambat?!! Paman anak saya sudah datang langsung ketika anak saya pingsan di rumah!! Tapi apakah Anda tahu apa yang terjadi??!!!”

Cicha kaget.

“Adik saya yang membawa anak saya sudah bilang kalo keponakannya pingsan. Tapi dia masih ditanya-tanya apakah ada biayanya untuk berobat??!! Bisa Anda bayangkan?!!! Hah??!!! Anak saya sudah sekarat, tapi masih ditanya soal uang??!! Dan Anda bertanya kenapa Kami terlambat membawanya ke rumah sakit???!!

Cicha tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

“Kami ini memang orang kecil!!! Orang miskin!! Tapi apakah kami tidak berhak untuk mendapatkan pengobatan!! Dia anak satu-satunya yang kami miliki!!”

Istrinya masih menangis dengan histeris di belakang suaminya yang masih terlihat sangat marah.

“Bukan kami yang terlambat!! Tapi Anda.. Anda..!!
Dia menunjuk ke Cicha, “ANDA YANG TELAH MEMBUNUH ANAK SAYA!!”

Cicha syok mendengarnya. Dia lemas. Kakinya tiba-tiba terasa sangat kecil, tidak mampu menyangga tubuhnya. Dia pergi meninggalkan ruangan itu. Pergi meninggalkan keluarga itu. Dia menangis..


“Aku ngga tahu harus ngomong apa..” Digi berkata pelan. Di depannya Cicha baru saja selesai bercerita. Matanya berkaca-kaca.

“Kamu memang ngga harus ngomong apa-apa, Gi.” Cicha tersenyum, tapi mukanya memerah karena menahan tangis.

Cicha ini adalah teman masa kecilnya dulu. Umur mereka emang beda jauh, tapi Digi dan Cicha udah kayak adik-kakak. Cicha yang anak tunggal, dan Digi yang memang ngga pernah punya kakak perempuan.

Waktu kecil, mereka sering main dokter-dokteran. Cicha selalu menjadi dokternya. Digi? Pasti jadi pasiennya. Karena waktu kecil dia penyakitan, tiap bulan pasti ke dokter.

“Kalo aku udah jadi dokter nanti, kamu ngga perlu mahal-mahal ke dokter, Gi. Sama aku aja. Gratis!” Itu yang selalu diucapin sama Cicha. Dia dari kecil memang bercita-cita menjadi dokter. Dan cita-cita itu akhirnya memang terwujud.

“Trus apa yang bakal kamu lakuin sekarang?” Tanya Digi.

Mereka berdua lagi ada di sebuah coffee shop. Ngga sengaja Digi ketemu Cicha disini, setelah sekian lama mereka ngga pernah ketemu. Ngga nyangka kalo Cicha bakal cerita kayak gitu ke Digi.

“Aku tahu apa yang harus aku lakuin, Gi.” Kata Cicha pelan. Dan tersenyum. Senyum lama yang masih sama.

Diam-diam Digi selalu mengagumi Cicha. Belum pernah dia ketemu seseorang yang bener-bener punya pendirian yang keras. Dari kecil, Cicha selalu berusaha untuk dapetin apa yang dia pengen. Dan dia selalu berusaha dengan sangat keras buat ngewujudin cita-citanya buat menjadi dokter.

Bukan hanya dokter biasa, tapi dokter anak, plus spesialisasi bedah, lebih dari tujuh tahun Cicha habisin buat nguasain semua yang dia butuhin. Dan itu semua dia lakuin dengan kerja keras.

Ngga tau apa yang bikin Cicha pengen jadi dokter anak. Mungkin karena dia seumur hidupnya ngga pernah punya adik. Digi tahu, Cicha sebenernya cuman kesepian aja.

Cicha mengambil beberapa buku dari tasnya. Semuanya tentang kehidupan di pedalaman. Digi ngga ngerti dengan maksud Cicha.

“Aku bakalan keluar dari sistem ini, Gi. Keluar dari kehidupan materialistis kota. Aku akan hidup berpindah dari satu pedalaman ke pedalaman lainnya. Aku bakal jadi dokter yang sesungguhnya buat masyarakat yang ngebutuhin. Langsung. Cuma ada aku dan pasien-pasien ku nantinya.”

Digi menatap mata Cicha. Mata yang penuh dengan keyakinan.

“Biar ngga ada lagi orang yang harus kehilangan nyawanya hanya karena masalah uang.”



*thx buat chabe y udah ngebantuin :)
Moga elo jadi dokter yang baik ya..!
amin.. :D

1 komentar:

  1. ini comment dari chabe (thx for her..)
    bisa buat perspektif laen (karena dya dokter.. at least bentar lagi, hehehe..)


    my review..

    so far si so good, gar.. hehehe cuma bingung aja, kok tiba2 nyalahin dokter yah.. huhuhu.. jelas2 dari awal dia bilang masalah biaya kan.. hiks..

    oiya ini yg mau gw bahas dikit:
    pertama: dr.cicha dokter spesialis anak kan, gar?? jadi, dia ngga melakukan operasi ya, gar.. yang ngelaku'in dokter spesialis bedah...

    kedua:kalo misalnya pake askes-kin, biaya operasi, obat2 yg terdaftar di askes dan kamar inap ditanggung askes..

    anyway, cuma mau share aja, banyak tuh waktu gw jaga di ugd, ada pasien tidak mampu harus dirawat, tapi apa daya, kamar inap-nya penuh.. dan kita mau rujuk ke rs lain, tapi, keluarga pasien mengira kita ngga mau kasih kamar karena mereka kurang mampu ampe mau dilaporin ke berita segala.. padahal beneran deh, gar, kalo ada kamar kosong, kita kasih... tapi ya mau gimana lagi...

    terus, ada yg namanya DOA (death on delivery) - jadi pas di bawa ke rs udah meninggal- gara2 telat di bawa ke rs..

    terus kejadian minggu kemarin, gar, ada perempuan dengan perdarahan karena KET (kehamilan ektopik terganggu -hamil tapi ngga di rahim, tapi di perut), harus segera dioperasi soalnya perdarahannya ngga berhenti2.. tapiiiii, keluarganya masih mau berunding dulu ttg biaya..
    *sigh*

    ada juga, nih, cuma seorang tukang rumput mesjid, yg mau ngurus askes, tapi sama pak eRTenya ditunda2 (bete ngga tuh!!!) jadinya pas kemarin dia harus berobat ke dokter dia musti pusingin cari uang dulu..

    Yah gar.. some people say, uang bukan segalanya.. tapi, jadi miskin juga menderita kok gar.. semoga, yg baca cerita loe ini, terpacu buat kerja keras digging some diamond.. ;)

    BalasHapus