Sabtu, 17 Januari 2009

DIGI HARI: ANGEL’S MURDER

Ruangan itu sangat besar. Hampir seluas Ballroom hotel. Atapnya berbentuk kubah menjulang ke atas. Di langit-langit terlukis lukisan yang menceritakan Adam dan Hawa memadu kasih. Semua ruangan dikelilingi oleh kaca-kaca besar, terpisah kotak-kotak kayu. Hari itu masih pukul delapan pagi. Cahaya matahari masuk dengan bebas melalui kaca-kaca besar itu. Mengelilingi sebuah grand piano hitam yang berada di tengah ruangan, tepat di bawah titik pusat kubah, di bawah lampu mewah besar yang bergantung. Dibawah piano terhampar karpet indah berwarna biru langit dengan hiasan berwarna putih. Sekilas terlihat seperti kilauan gelombang laut. Selebihnya adalah lantai papan kualitas nomor satu yang menutupi semua lantai.

Michelle, gadis ramping berkulit seputih susu dan berambut hitam panjang, sedang berdiri di pintu masuk ruangan itu. Memandang ke arah grand piano hitam kokoh yang berada di tengah ruangan. Ia melangkah pelan mendekati piano itu. Duduk dengan anggun sambil menyibakkan rok putih panjangnya. Membuka tutup tuts piano, dan memandang kosong ke arah hamparan tuts hitam putih di depan matanya. Dan lalu ia mulai meletakkan kedua tangannya di atas tuts piano itu. Menarik nafasnya, menegakkan duduknya, dan mulai memainkan sebuah simfoni.

Etude in Gb, Op 25, No. 9, sebuah karya Chopin mengalun indah dari jemari lentik Michelle. Ia memainkan lagu yang diberi judul Butterfly, karena ketika jari-jari yang memainkan lagu ini berpindah-pindah tempat, terlihat seperti kupu-kupu.

Rambut panjang Michelle bergoyang sesuai irama, tapi tidak berlebihan. Michelle adalah seorang pianis yang tidak terlalu ekspresif dalam memainkan sebuah lagu. Ia lebih memilih untuk bersatu dengan musik yang ia mainkan dengan cara yang lebih lembut.

Tangannya lincah berpindah pindah dari satu tuts ke tuts lainnya, seperti kupu-kupu. Dan jika diperhatikan, wajah Michelle memang cantik. Secantik kupu-kupu yang sedang menghisap sari bunga di pagi hari. Tapi Michelle bukanlah kupu-kupu yang sedang menghisap bunga. Ia mungkin bisa dibilang seperti seekor kupu-kupu yang sedang bingung menentukan bunga mana yang ingin ia hisap sarinya.

Pintu terbuka lagi tepat ketika Michelle menyelesaikan bagian akhir lagu.

Ibu Theressa dan Angel masuk ke ruangan itu sambil mengobrol riang, hampir tidak menyadari ada Michelle disana. Obrolan mereka terhenti ketika pandangan keduanya terarah ke tengah ruangan.

“Kamu sudah datang rupanya, Michelle.” Ibu Theressa menghampiri Michelle dengan dingin. Michelle mengangguk pelan, dan beranjak dari kursi pianonya.

“Hei.. cepet banget kamu datengnya.. tau gitu kan kita bisa bareng berangkatnya tadi.” Angel memeluk Michelle dari samping. Pelukan hangat dengan senyuman ceria di pagi hari. Michelle balas memeluk dan tersenyum.

“Sudah basa-basinya! Ayo kita mulai latihan. Waktu pertunjukan tinggal sebentar lagi. Dan kali ini bukan pertunjukkan biasa! Kalian tahu itu.” Ibu Theressa berdiri di samping piano, dan mulai membukakan partitur yang akan dimainkan. “Ayo, Angel, lekas duduk disini. Dan.. Michelle. Kamu berdiri di samping Angel, perhatikan dia bermain. Kamu membutuhkan itu.”

Angel duduk di kursi piano yang sebelumnya diduduki oleh Michelle, masih hangat. Angel tersenyum lagi ketika merasakan kehangatan itu. Michelle tidak melihatnya karena ia sudah berdiri disamping Angel dan mulai memerhatikan partitur yang ada di atas tuts piano.

Für Elise. Lagu piano yang banyak dibilang sebagai karya terbaik Beethoven menjadi lagu pertama Angel pagi itu. Ibu Theressa mengamati dengan cermat permainan Angel.

Sesuai dengan namanya, Angel, merupakan gadis tercantik yang pernah dilihat oleh Michelle, nyaris seperti malaikat. Umur mereka tidak berbeda jauh, hanya terpaut beberapa bulan saja, Michelle lebih tua. Wajah Angel tidak kalah cantik dibandingkan Michelle, hanya saja ada sesuatu yang tidak dimiliki oleh Michelle. Angel terlihat lebih hidup. Lebih bernyawa. Rambut hitam tebalnya semakin menambah kesempurnaan Angel. Tidak ada cacat sedikitpun dari fisik Angel di mata Michelle.

Soal kemampuan musik, mereka pun tidak jauh berbeda. Hanya saja, lagi-lagi, Angel memiliki apa yang tidak dimiliki oleh Michelle. Angel memiliki kemampuan yang sama seperti komposer idola Michelle, Mozart. Angel memiliki kemampuan apa yang disebut dengan tala mutlak. Ini adalah kemampuan mengenal nada dengan tepat tanpa bantuan alat. Kemampuan langka yang hanya dimiliki sedikit orang. Dan Angel memiliki itu.

“Michelle..!!” Panggilan tiba-tiba itu membangunkan Michelle dari lamunannya. Ibu Theresa memanggilnya. Angel sudah selesai memainkan lagu pertamanya. “Bagaimana kamu mau menjadi pianis utama, kalau hanya diberi tugas untuk memperhatikan saja kamu tidak bisa..!!”

Angel terdiam. Sudah sejak lama ia merasa tidak enak hati kepada Michelle soal Ibu Theressa ini. Dia tahu, kalo Michelle sebenarnya juga pantas menjadi pianis utama. Tapi entah kenapa Ibu Theressa selalu menahan-nahannya. Dan Angel, entah disengaja atau tidak, memiliki satu lagi kesempurnaan, selalu bisa menarik perhatian orang lain. Bukan hanya sekedar perhatian, tetapi menarik hati.

“Sekarang saya mau kamu lebih memperhatikan. Simpan jauh-jauh lamunanmu itu. Kamu bertugas mendampingi Angel nanti di malam pertunjukkan. Itu adalah tugas yang sangat penting. Bagus tidaknya permainan Angel, kamu yang menentukan. Ingat itu..!!” Ibu Theressa mulai memerintahan Angel memainkan lagu kedua. Minuet in G. Lagu terkenal dari Bach menjadi lagu kedua Angel di pertunjukkan nanti.

“Tugas penting?” Michelle larut dalam bayangan hatinya sendiri lagi, ketika Angel memasuki bagian kedua lagu itu. Tugasnya hanyalah membalik lembaran partitur untuk Angel di konser nanti. “Dan itu dianggap tugas penting..??!! kenapa tidak Angel saja yang melakukan tugas itu..?? Toh ia juga merasa bisa memainkan lagu-lagu untuk pertunjukkan itu.” Tapi.. dia adalah Michelle, bukan Angel. Dan itu adalah satu perbedaan yang sudah pasti semua orang tau siapa yang akan menang.

“Michelle..!!” Lagi-lagi teriakan yang sama membangunkan lamunan Michelle. “Cukup!! Cukup!! Cukup!! Bagian mana yang kamu tidak mengerti hah..??!!” Kali ini teriakan itu tepat berada di samping telinganya. “Kalau kamu memang tidak berniat untuk ikut di pertunjukkan nanti, ya sudah!! Saya tidak memaksa!!” Michelle tetap diam menatap kosong piano didepannya. “Sudah!! Latihan hari ini selesai!! Saya tidak tahu lagi harus bagaimana dengan kamu, Michelle!!” Ibu Theressa meninggalkan ruangan itu, tapi sebelum keluar, ia berkata dengan lembut, “Angel, kamu semakin baik, tingkatkan terus.”

“Michelle.. Kamu baik-baik saja??” Angel berkata lembut sambil membelai pundaknya. “Maaf.. aku merasa sangat bersalah. Kalau kamu memang menginginkannya, aku bisa mengundurkan diri dari pertunjukkan itu.”

Ah, Angel.. lagi-lagi satu kesempurnaan yang kamu miliki. Kamu sangat baik hati.

Tapi Michelle hanya terdiam dan tatapannya masih tetap kosong. Dia pun meninggalkan ruangan itu dengan pelan. Meninggalkan Angel sendirian di ruangan itu.

“Hei, Michelle.. udah selesai latihannya?” Albert menyapanya ramah ketika mereka berpapasan di gerbang keluar. Michelle hanya tersenum lemah, dan meneruskan langkahnya pergi.

Albert hanya terdiam dan merasakan angin kepergian Michelle. Dia sudah biasa dengan keadaan seperti itu. Albert mengangkat bahu pelan, dan menghampiri Angel yang masih berada di ruang latihan. Menghampiri kekasihnya.

Angel dan Albert. Bagaikan Adam dan Hawa. Seperti lukisan di langit-langit ruangan latihan piano mereka. Apalagi yang dibutuhkan seorang Hawa selain Adam untuk melengkapi kesempurnaan hidupnya..?

Belum lagi Albert adalah seorang pianis yang nyaris sama sempurnanya dengan Angel. Dia memiliki kesamaan dengan para komposer legendaris dunia lainnya. Ia sudah bisa memainkan kantata Haydn di umur yang masih sangat muda. Keluarganya adalah musisi musik klasik sejati. Mulai dari pemain biola, sampai harpa, ada semua di keluarganya. Tidak sulit untuk seorang Albert memiliki semua itu. Karena keluarganya pun kaya raya.

Sedangkan Michelle..? ia harus berjuang sangat keras untuk mencapai apa yang ia miliki selama ini. bahkan ia berjuang sangat keras untuk mendapatkan hati Albert, dan ketika ia nyaris mendapatkannya, datanglah seseorang yang menghancurkan semua usahanya dengan mudah, Angel. Tentu saja Angel tidak menyadari semua itu.

“Besok adalah latihan terakhir. Saya minta kamu fokus, Michelle. Bagaimana kamu mau menjadi pianis utama, kalau kamu sibuk dengan duniamu sendiri??” Ibu Theressa mengucapkan kalimat terakhirnya di telepon. Sesaat setelah Michelle tiba di rumahnya. Entah ada apa dengan Ibu Theressa ini. Michelle tidak pernah tau kenapa Ibu Theressa sangat membencinya. Dulu ketika Pak Jonathan yang menjadi pelatih mereka, Michelle adalah pianis utama. Dan ia memang diakui oleh Pak Jonathan. Tapi ketika Pak Jonathan pergi, dan Ibu Theressa yang menggantikannya, ia langsung dijadikan pianis kedua. Padahal Ibu Theressa ini adalah asisten Pak Jonathan, yang seharusnya tau apa yang Pak Jonathan tau. Ahh..!! kenapa Ibu Theressa sangat membencinya..??

Tiba-tiba Michelle teringat akan Ibunya. Ia kemudian meraih piano di ruang tengah rumahnya, piano berwarna cokelat itu sudah sangat tua. Peninggalan keluarga. Diturunkan dari Neneknya, ke Ibunya, dan sekarang menjadi milik Michelle. Semua perempuan di keluarganya adalah seoarang pianis. Dan Ibunyalah yang menginspirasi Michelle untuk menjadi seorang pianis. Sebelumnya ia sangat membenci piano, sampai ketika Ibunya pergi meninggalkan dirinya untuk selama-lamanya.

Michelle menarik nafas dengan tenang. Menegakkan duduknya dan mulai memainkan komposisi K.310, Sonata in A Minor, salah satu sonata Mozart yang memiliki suasana yang kelam karena ini diciptakan Mozart untuk ibunya yang meninggal. Michelle mulai menitikkan air matanya ketika memainkan lagu ini. tetesan air matanya membasahi tangannya, dan tuts pianonya. ia tidak menyelesaikan permainannya, karena kemudian ia menangis di atas pianonya. menangis dan merindukan Ibunya yang selalu ada disaat kapanpun Michelle membutuhkannya.

Tangisannya terhenti ketika handphonenya berbunyi. Ada sms dari Ibu Theressa. Hhhhhhh... dia lagi, dia lagi..!! ngga puas apa dia selama ini...??!!! Michelle merasakan kepalanya berdenyut kencang. Rasa amarah memenuhi dirinya. Ia merasa muak. Pikirannya tidak bisa berfikir dengan netral lagi. Emosi sudah memenuhi benaknya. Michelle kemudian pergi meninggalkan rumah, dengan amarah memuncak didirinya. Sebilah pisau ia sembunyikan dibalik jaketnya.

“Oh, halo Nak Albert.. Ada apa..? Tumben telepon Ibu malam-malam begini..” suara Ibu Theressa terdengar.

“Ibu.. Ibu belum tahu..?” Suara Albert begetar di seberang sana.

“Tahu apa, Nak..?” Ibu Theressa menjawab pelan, sekarang nadanya memelan.

“Angel, Bu.. Angel..” Sekarang Albert terdengar menahan tangis.

“Ada apa dengan Angel..?” Suaranya tertahan.

“Angel.. dibunuh, Bu..”

Polisi sudah mengepung tempat latihan piano itu. Tempat yang tadi pagi penuh kehangatan sinar matahari. Tapi malam itu tidak. Suasananya sangat kelam, tidak ada lampu yang dinyalakan di dalam ruangan itu. Hanya kelap-kelip lampu mobil polisi memenuhi semua ruangan itu.

Michelle ada didalamnya. Sendirian. Duduk dihadapan piano hitam besar itu. Duduknya tegap, ia sedang bermain piano. Ia memainkan Requiem. Komposisi ciptaan Mozart yang tidak pernah terselesaikan. Lagu Mozart yang paling menyedihkan. Michelle terus memainkan repertor itu dengan tenang. Jemari cantiknya tenodai dengan darah. Dilsampingnya, ada sebilah pisau yang masih berlumuran darah.

Terdengar suara polisi diluar meminta Michelle keluar. Tapi ia sekan-akan tidak mendengarnya. Kesabaran polisi pun habis, dan mereka mulai merangsek masuk ke dalam ruangan. Pintu dikunci dari dalam.

Suara-suara diluar semakin banyak terdengar. Polisi-polisi itu mulai menggedor-gedor pintu kaca. Michelle masih memainkan piano. Kepalanya terkulai mengikuti irama lagu. Semakin keras orang-orang diluar menggedor-gedor pintu. Berieriak-teriak sambil mencoba masuk.

Sampai akhirnya ketika polisi-polisi itu mendobrak masuk, Requiem selesai dimainkan oleh Michelle, dan pisau telah tertancap di jantungnya..

“Wow.. Tragis aja.” Kata Digi sambil matiin televisinya. “Untung gw ngga bisa main piano..”

3 komentar: